WAJAH DUNIA PENDIDIKAN KITA

Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang diperingati setiap tanggal 2 Mei, merupakan momentum untuk menggugah kesadaran masyarakat negeri ini akan pentingnya pendidikan. Peristiwa penting ini hendaknya tidak sekedar diperingati dengan serangkaian acara seremonial saja, tetapi harus dimaknai dengan mengaktualisasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Untuk itu, dalam balutan momen Hardiknas kali ini, penulis mengajak kita semua, anak bangsa negeri ini untuk memotret wajah dunia pendidikan kita saat ini. Dengan demikian diharapkan mampu menghadirkan semangat pada setiap individu masyarakat negeri ini untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan di tanah air tercinta ini.
Peran Pendidikan

Tidak dapat dipungkiri, bahwa pendidikan memunyai peranan yang sangat penting dalam proses kemajuan suatu bangsa. Semakin tinggi kualitas pendidikan di suatu bangsa, semakin tinggi pula kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) bangsa tersebut. Dan ini akan berimbas pada kemajuan peradaban bangsa tersebut. Sebaliknya, rendahnya kualitas pendidikan akan berdampak pada rendahnya mutu SDM, yang pada gilirannya akan menghambat kemajuan peradaban bangsa tersebut.

Persoalannya, untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas tidak semudah membalik telapak tangan. Diperlukan sejumlah prasyarat tertentu demi kelancaran proses penciptaan mutu pendidikan. Dari mulai tersedianya tenaga pengajar profesional, yang kompeten dan memiliki integritas serta dedikasi tinggi, terlengkapinya fasilitas serta sarana dan prasarana penunjang dalam proses belajar mengajar, serta efektif dan efisiennya kurikulum, dan sejumlah prasyarat lainnya.

Dalam konteks Indonesia, sejumlah prasyarat yang harus ada demi penciptaan mutu pendidikan tersebut belum seluruhnya terpenuhi. Kalaupun ada sekolah atau lembaga pendidikan yang memiliki sejumlah komponen prasyarat yang cukup memadai, tentu membebankan biaya yang tinggi kepada peserta didiknya. Sehingga, tidak mungkin terjangkau oleh masyarakat kebanyakan.

Inilah persoalan klise dalam dunia pendidikan di Indonesia. Di satu sisi, kita mendambakan kualitas pendidikan yang baik untuk seluruh lapisan masyarakat. Di sisi lain, untuk memperoleh kualitas pendidikan yang baik, masyarakat harus menyediakan dana yang tidak sedikit. Sementara, kondisi ekonomi sebagian besar masyarakat negeri ini sangat memprihatinkan.

Landasan Yuridis

Pada hakekatnya, bila merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945, disebutkan dalam pasal 31 ayat 1 bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan dan pada ayat 2 disebutkan bahwa setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Dan dalam UU No. 20/2003 pasal 5, bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.

Dari beberapa landasan yuridis di atas, maka jelas bahwa seluruh lapisan masyarakat negeri ini berhak mendapatkan pendidikan yang bermutu. Dan untuk memperolehnya, pemerintah berkewajiban untuk memfasilitasinya.

Ironisnya, pemerintah sebagai penyelenggara negara, hanya rajin mendengungkan pentingnya pendidikan bagi warga negara, tanpa memberikan solusi terbaik untuk penyelenggaraan pendidikan di seluruh jenjang pendidikan. Hal ini terlihat dengan kurangnya anggaran pendidikan, baik dalam APBN maupun APBD, yang sampai saat ini masih tidak lebih dari 20%. Kenyataan ini, memaksa kita untuk menunda keinginan memiliki pendidikan yang berkualitas.

Tujuan Pendidikan

Kita semua mafhum bahwa tujuan utama pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, menciptakan pribadi-pribadi berbudi pekerti luhur dan berakhlak mulia, serta membangun generasi mendatang dengan seperangkat intelektualitas, moralitas dan spiritualitas yang memadai.

Pendidikan, seperti diungkapkan para pakar, sejatinya merupakan sarana pembentukan manusia sempurna yang mengedepankan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, kebenaran dan keadilan.
Pendidikan yang baik, bukan hanya sekedar transfer of knowledge. Menjejali anak didik dengan serangkaian ilmu pengetahuan semata, tanpa didasari oleh seperangkat nilai-nilai pendidikan yang substansial, seperti penanaman aspek kepribadian dan pembentukan sikap.

Pendidikan yang sesungguhnya, selain sebagai sarana aktivitas belajar-mengajar, seharusnya juga sebagai wadah penanaman nilai humanisme, pluralisme, dan inklusivisme. Model pendidikan seperti inilah, hemat penulis, yang merupakan sarana efektif bagi anak didik untuk menjalani kehidupan sosial di tengah masyarakat yang heterogen ini dengan penuh toleransi dan kedamaian.
Kenyataan yang terjadi di lapangan, proses pembelajaran tidak lebih dari sekedar transfer of knowledge.

Para pendidik merasa telah selesai menjalankan tugasnya ketika materi pembelajaran telah disampaikan. Hasil akhir dari proses belajar mengajar hanya dilihat dari deretan angka-angka yang menghiasi buku rapor peserta didik. Adapun integritas moral dan penanaman nilai-nilai kemanusiaan terhadap peserta didik seringkali diabaikan. Akibatnya, para peserta didik berlomba-lomba mencari cara bagaimana agar mendapat nilai maksimal, tanpa memedulikan apakah cara yang ditempuh melanggar norma atau bahkan menginjak-injak moralitas.

Pelanggaran atas nilai-nilai moral, ternyata tidak hanya dilakukan oleh peserta didik, tetapi juga oleh para pendidik. Hal ini bisa dilihat, seperti dilansir sejumlah media cetak dan elektronik beberapa waktu lalu. Pada saat pelaksanaan Ujian Nasional (UN) Tahun 2008 untuk siswa SMA/MA/SMK, terjadi banyak sekali penyimpangan serta pelanggaran terhadap tata tertib UN.
Ada sejumlah oknum guru yang membocorkan soal ujian. Bahkan memberikan jawaban melalui sms ke ponsel para siswanya. Ada juga kepala sekolah serta guru bidang studi yang masuk ruangan UN dan mengoreksi jawaban peserta UN. Kesemua tindakan itu dilakukan demi menjaga nama baik sekolah tersebut.

Pelbagai perilaku tidak terpuji tersebut menunjukkan bahwa proses pendidikan di Indonesia ini masih kurang memedulikan nilai-nilai moral. Tingkat kelulusan yang ditentukan hanya dengan deretan angka hasil ujian, seakan menegaskan bahwa kecerdasan intelektual adalah segalanya. Sementara kecerdasan emosional, terlebih lagi kecerdasan spiritual masih belum mendapat tempat yang layak di dunia pendidikan kita.

Peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun ini, hendaknya menjadi cermin untuk melihat realita dunia pendidikan di Indonesia. Apa saja yang masih perlu dibenahi. Mana yang harus diperbaiki, serta langkah apa yang harus segera diambil untuk mengatasi berbagai persoalan yang melingkupi dunia pendidikan di Indonesia. Semoga wajah dunia pendidikan di Indonesia memancarkan aura positifnya. Sehingga mampu membawa bangsa ini menuju kehidupan yang lebih baik.

0 Komentar