Ternyata Gus Dur Juga pernah Jadi Kepala Madrasah

Cerita Gus Dur menjadi kepala madrasah berawal ketika ia melanjutkan belajar ke Pesantren Tambakberas pada 1959-1963. Ia belajar ke KH Abdul Fattah Hasyim, pendiri Madrasah Muallimin Tambakberas. Madrasah ini berdiri pada tahun 1953.

Selain jadi santri di Muallimin, Gus Dur juga menjadi guru bagi adik-adik kelasnya untuk mata pelajaran bahasa Inggris. Di kelas bahasa Inggris inilah Gus Dur bertemu Hj Sinta Nuriyah.

Setelah lulus Madrasah Muallimin, Gus Dur diminta oleh Kiai Fattah untuk menjadi kepala Madrasah Muallimin karena dipandang sangat layak untuk menempati posisi itu.

"Selama tahun pertamanya, ia mendapat dorongan untuk mulai mengajar. Ia kemudian mengajar di madrasah modern yang didirikan dalam kompleks dan juga menjadi kepala sekolahnya," tulis Greg Barton.

Menurut kesaksian guru Madrasah Muallimin Ustadz Risalatul Aminin di era Gus Dur madrasah ini ditempuh dalam jangka empat tahun. Didirikan untuk mencetak guru-guru agama.

Ketika Gus Dur menjadi kepala madrasah, gedung Madrasah Muallimin tidak jauh dari ndalem kesepuhan Kiai Fattah. Saat ini, lokasi tersebut jadi khusus putri. Gedung madrasah khusus putra pindah ke sisi Timur. 

Pada tahun 1964, Madrasah Muallimin yang awalnya ditempuh empat tahun berubah menjadi enam tahun. Saat ini madrasah tersebut bernama lengkap Madrasah Muallimin Muallimat 6 Tahun Bahrul Ulum Tambakberas.

Gus Dur tidak lama menjabat kepala Madrasah Muallimin karena harus melanjutkan pendidikan ke Al-Azhar Mesir setelah ada kunjungan Grand Syaikh Al-Azhar saat itu, Syaikh Muhammad Shaltout ke Tambak beras.

Di buku Tambakberas (hlm. 52-53), Gus Dur menjadi kepala madrasah Muallimin hingga tahun 1966. Hal ini berbeda dengan catatan Greg Barton yang mengatakan bahwa Gus Dur hanya sampai tahun 1963 di Tambakberas. Gus Dur pamit ke Kiai Fattah untuk ke Mesir. Pimpinan madrasah diserahkan kembali ke Kiai Fattah.

"Madrasah Muallimin saat ini memiliki dua kampus, putra dan putri dipisah. Madrasah ini menjalankan kurikulum 80 persen pelajaran salaf pesantren dan 20 persen pelajaran kurikulum nasional," jelasnya.

Ia mengatakan, alasan lain penunjukan Gus Dur sebagai kepala Madrasah Muallimin karena pimpinan madrasah secara formal belum ada. KH Abdul Fattah sebagai pendiri menunjuk Ustadz Mamas, seorang pendatang dari Kalimantan, untuk mengelola dan memimpin secara formal madrasah ini sampai tahun 1960.

Diprediksi umur Gus Dur saat jadi kepala Madrasah Muallimin yaitu 23 tahun. Masih cukup muda. Saat ini Madrasah Muallimin dipimpin oleh KH Abdullah Rif'an Nashir.

Saat ini, madrasah dengan khas kerudung minangnya ini memiliki peserta didik 3.021 orang. Dengan rincian 73 rombel, 1474 siswa, 1547 siswi, serta 187 guru dan pegawai.

"Saya tahunya Gus Dur sebagai kepala Madrasah Muallimin dari kakak kelas dan brosur pendaftaran yang memajang foto Gus Dur. Saya masuk Muallimin tahun 2008," ungkapnya. 

Menurut Risalatul Aminin, di Madrasah Muallimin ini memiliki ciri belajar gramatika bahasa Arab menggunakan kitab Alfiyah Ibnu Malik. Pelajaran ini sudah ada sejak era Gus Dur hingga saat ini. Hafalan bait-bait Alfiyah bahkan jadi kewajiban bagi santri.

Ia lalu memberikan alasan kenapa Madrasah Muallimin tetap memasukkan 20 persen kurikulum nasional dalam proses pembelajaran. Hal ini dikarenakan saat itu Gus Dur ingin kurikulum pesantren bisa mengikuti dinamika perkembangan zaman.

Bagi Gus Dur, kurikulum pesantren yang memuat nilai-nilai positif harus terus diajarkan seperti kesederhanaan, kegigihan dalam belajar, kejujuran, berani, dekat dengan masyarakat, dan berpikir mendalam serta meluas.

"Meskipun sebentar memimpin Madrasah Muallimin, pemikiran Gus Dur masih menancap di sini. Kitab yang di era Gus Dur seperti Alfiyah, Bulughul Maram, Tafsir Jalalain masih dipertahankan," beber pria asal Kecamatan Mojoagung, Jombang ini.

Risalatul Aminin menambahkan, gagasan Gus Dur tentang pesantren lebih pada penyederhanaan kurikulum. Hal ini bukan bermaksud mendangkalkan ilmu agama, kajian lebih mendalam bisa masuk pengajian agama nonkurikuler.

Bagi Gus Dur, pada tahun pertama hingga ketiga, pesantren perlu memberikan waktu cukup banyak pada ranah Nahwu-Sharaf karena fondasi memahami ajaran agama yang mayoritas dari teks Arab. Mata pelajaran lain yang tak kalah penting yaitu fiqih dan tauhid, karena digunakan untuk ibadah. 

Tahun keempat dan kelima pelajaran mulai masuk ke Mantik, Balaghah, Ushul Fiqih dan Hadits. Namun, pelajaran fiqih dan tauhid dengan kitab lebih luas tetap diajarkan. Di tahun terakhir materi Hadits dan Tasawuf. 

"Di Muallimin, kelas lima dan enam sudah tidak belajar Alfiyah lagi. Lebih ke praktik, saya megang pelajaran Mutholaah kelas lima," beber alumnus Pascasarjana IAIN Kediri ini.

Madrasah Muallimin memiliki keunikan lainnya, siswa kelas 3 bisa ikut ujian negara tingkat Tsanawiyah dan siswa kelas 6 bisa ikut ujian negara tingkat Aliyah. Meskipun begitu, Madrasah Muallimin juga mengeluarkan ijazah muadalah. Sehingga setiap santri jika lulus ujian memiliki dua ijazah sekaligus.

"Foto Gus Dur terpajang jelas di kantor Muallimin sebagai kepala madrasah. Banyak santri Muallimin yang terinspirasi dari Gus Dur. Gus Dur sering datang ke Tambakberas untuk ziarah ke makam Kiai Fattah," imbuh Risalatu

sumber : nu.or.id

0 Komentar